Cerita pendek

—sepasang sepatu—

Akio terus tersenyum melihat pemuda didepannya. Regas, pemuda itu sedang memperbaiki motor milik ayahnya. 

Regas menoleh, "Nona jangan terus menatap saya. Nanti saya bisa tidak fokus!" keluhnya yang mendapat kekehan dari Akio.

"Memangnya kenapa? Aku kan memperhatikan pekerjaanmu juga, takut-takut kamu malah mengambil tulang milik vivi bukannya obeng," ucap Akio.

Regas melirik kearah tulang kaki sapi yang ada disebelahnya, juga Vivi, anjing itu tengah terlelap didalam kandangnya. Kemudian dia tersenyum sambil menggeleng kepala.

"Nona tahu, apa yang membuat saya tidak fokus?" ujar Regas sambil kembali memperbaiki motor.

"Apa?" 

"Senyuman."

"Senyuman?" tanya Akio dengan alis berkerut.

"Iya, senyuman, Nona. Terlalu manis saat garis bibir itu melengkung keatas." 

Akio tersenyum kikuk, wajahnya mungkin sedang memerah sekarang. Akio bangun dari duduknya, "Aku pergi buat minum dulu, kamu mau minum apa?"

"Apa saja, asal disajikan dengan senyum, Nona. Saya yakini akan terasa manis."


...


Aroma oli juga bensin memenuhi ruangan itu, alat perkakas juga berserakan dimana-mana. Regas melangkah masuk kesana, disapanya si pemuda berbaju hitam. 

"Tidak pulang, Jul?" tanya Regas. Mengingat kemarin lelaki itu izin pulang kerumah, sebab istrinya terus memintanya hal-hal aneh. 

"Nggak, Mas. Udah abis uangnya menuhin kemauan baby." Regas tertawa renyah, lalu menaruh perkakasnya di pojok ruangan. 

"Kerja keras lagi ya, buat baby." 

Julian tersenyum, lalu mengangguk, "Pasti toh, Mas." 

"Kamu kapan, Gas?" sambung tiba-tiba Heru.

"Apanya yang kapan?" 

"Melamar atau punya baby, ya terserah kamu mana yang duluan." 

Regas menggeleng pelan, "Asal banget kamu kalo ngomong." 

"Aku gak asal loh, aku nanya ini. Penentunya kan kamu."

"Nanti kalo udah waktunya." Terus jawaban yang sama akan dilontarkan Regas setiap pertanyaan itu hadir dari mulut temannya atau Ibunya. 

Bukan tidak ingin, dirinya masih terfokus pada kesehatan sang Ibu. Juga dengan kegiatan sekolah sang adik. Hidupnya masih harus diajak keras, dirinya tak ingin begitu menyulitkan seseorang dimasa depannya bila mereka harus hidup bersama nanti. 

Lagi pun, dihatinya sudah ada seseorang yang bersemayam. Itu juga yang menjadi tujuannya fokus pada dirinya saat ini.

Akio Fujisoka. 

Senja mewarnai langit sore ini, begitu jingga dan menawan. Akio menatap beberapa foto yang dia ambil siang tadi, ditatapnya tubuh pemuda yang tercetak disana. Akio tersenyum, "Tuan tampan," gumamnya. 

Pintu terbuka menampilkan wajah wanita baya tersenyum melihat putrinya yang tengah memandangi foto. "Wajah pemuda mana yang sedang kamu pandangi, Nak?" tanya Sang bunda.

Akio segera membereskannya lembaran foto diatas meja miliknya. "Bukan pemuda mana-mana, Bunda." 

Sang bunda menghampiri Akio, "Tak perlu sungkan, Kio. Katakan, pemuda mana yang tengah membuatmu jatuh hati?" 

Akio terdiam beberapa saat, "Bunda pernah bertemu dengannya." 

Sang bunda menimang-nimang sambil menebak sebuah nama, "Tuan Jaelani?" Akio menggeleng, "Hmm atau Tuan Mahes?" Lagi, Akio menggeleng. 

"Bukan mereka, Bunda."

"Lalu tuan mana, putriku?"

"Dia bukan seorang tuan yang sering ayah kenalkan, tapi dia tuan yang selalu membantu ayah." 

Sang bunda mengernyit, "Siapa?"

Akio memberikan satu lembar foto pada Sang bunda, mata Sang bunda membulat.

"Dia tuan tampan, pemuda bernama Regas." 


...


Regas melangkahkan kakinya masuk kedalam halaman rumah tua peninggalan ayahnya itu. Melepas sepasang sepatu dari kakinya, baru berlalu masuk kedalam rumah. Menghampiri Sang ibu yang sedang menyiapkan makan malam. 

Aroma sayur asem juga tumisan kangkung memenuhi dapur. "Mandi dulu, Gas." titah Sang Ibu. 

"Iya, Bu." Regas segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Setelah selesai Regas duduk disalah satu bangku. Sang Ibu lebih dulu menyendokkan nasi untuknya. "Makasih, Bu." 

"Mas, bayaran ku cuma sampai minggu depan kata bu guru."

Regas menelan nasi dalam mulutnya dengan susah payah, "Nanti Mas kasih, kamu makan dulu yang banyak." 

Angin malam menerpa kulit langsat Regas, matanya memandang langit yang menggelap karena bulan tengah ditutupi oleh awan. Helaan nafas terdengar dari bibirnya. Lagi, lelaki itu memutar otaknya untuk esok. Pekerjaan apa yang mungkin bisa ia ambil untuk menambah pemasukannya.

Sang Ibu menghampiri Regas yang tengah termenung dalam pikirannya. "Kenapa, Gas?" tanya Sang Ibu lembut.

"Gak apa-apa, Bu. Nyari angin," balas Regas.

Mereka sama-sama diam termenung diantara cahaya bulan. "Ibu ada kenalan, siapa tau cocok sama kamu?" ujar Sang ibu, menatap anak sulungnya. 

"Nanti ya, Bu. Regas masih mau fokus sama Ibu dan Tika."

Sang ibu mengusap punggung sang anak, memberikan kehangatan menjalar dalam tubuh Regas. "Ibu tahu kamu punya seseorang. Kalau bisa, kenalkan sama Ibu, dia pasti mengerti." Regas mengangguk pelan. 

Sang Ibu tersenyum, lalu kembali kedalam rumah. 

"Bukan dia yang sulit mengerti, Bu," gumamnya diantara kesunyian malam.


...


Akio duduk di salah satu kursi kayu yang ada di teras bengkel itu. Matahari sudah meninggi membuat banyak orang mengibaskan tangan untuk memberikan udara segar meresap dalam tubuh mereka. Akio menatap motor yang baru saja terparkir didepannya. Kemudian tersenyum menyapa si empu, "Siang." 

Regas segera menghampiri gadis itu saat pertama kali melihatnya. "Siang, nona sedang apa disini?" tanyanya.

Akio mengangkat rantang makanan yang dibawanya. "Makan siang bersama." Kemudian tersenyum. 

Regas menyuruh Akio untuk kembali duduk, sebab dia mau membersihkan tangannya dulu yang penuh oli. Regas membersihkan air yang menempel pada tangannya dengan lap.

"Kita makan di taman depan aja," ajak Regas sambil menggandeng tangan Akio. Membuat gadis itu tersenyum dalam diam. 

Teriknya matahari membuat orang enggan untuk berkunjung ke taman, terbukti dengan keadaan taman yang kosong. Hanya terdapat beberapa orang lalu lalang. 

Akio membuka satu persatu tempat makan yang dibawanya. "Aku buatkan ini, mungkin rasanya enak. Aku belum sempat mencobanya tadi." 

Regas tersenyum, "Apapun yang nona buat, pasti saya makan." 

Akio tersenyum, "Cobalah." 

Regas melahap beberapa potong ayam tumis dan sayur kangkung buatan Akio. "Enak." Jawaban itu membuat senyum Akio melebar. 

"Habiskan." 

Akio menatap Regas yang tengah menyantap masakannya. Regas menoleh menatap kembali mata cokelat yang terpancar indah dari gadis didepannya. 

"Tuan tampan, makan dengan lahap," ucap Akio.

Regas terkekeh, "Nona jangan menggoda, itu tugas saya." Keduanya tertawa.

"Aku juga ingin menggoda mu, tahu." Akio mengerucutkan bibirnya. Regas yang melihat itu menahan gemas, lalu menutup tempat makan yang selesai dipakainya. Tidak lupa menegak air mineral hingga setengah tandas. 

"Nona menggemaskan." 

Wajah Akio memerah, "Jangan menggodaku!" 

Regas tertawa, lalu mengusap kepala Akio. Mengacak rambutnya pelan, lalu menarik ikat rambut yang melingkari rambut gadis itu. Tak lupa menyampirkan anak rambut kebelakang telinga.

"Nona lebih cantik seperti ini." Akio menatap mata hazel Regas. Kemudian mendekatkan wajahnya pada pemuda itu, mengecup pipi Regas singkat. 

"Aku mencintaimu, Regas." 


...


Malam telah banyak terlewati hingga tak terhitung berapa banyak rindu yang menelan Akio untuk menemui Regas. Matanya sembab, hidungnya merah, lengannya kedinginan. Akio duduk terdiam di depan pasar malam, orang lalu lalang sesekali memandanginya kasihan. 

"Kenapa nona disini?" Tangan Regas terulur memberikan luaran hangat milik Tika. 

"Menunggumu, apalagi memang," tukas Akio sedikit kesal. 

"Maaf." Kata itu keluar dari mulut Regas. 

Akio mencoba menahan air matanya kembali turun, "Jangan meminta maaf, bertanggung jawab saja atas rinduku ini."

Regas lekas memeluk tubuh kecil Akio. Mengusap punggung kecil itu lembut, "Terimakasih." 

Kaki kecil Akio melangkah jauh mengelilingi pasar, sesekali dia bertanya pada Regas apa yang dilihatnya. Suasana yang penuh kehangatan juga tawa diantara keduanya. 

"Aku ingin coba itu," pinta Akio saat melihat komedi putar. 

"Nanti nona tidak bisa tidur kalau menaiki itu." 

Akio cemberut, "Kenapa kamu selalu memanggilku dengan nona?" Regas tak menjawab. Bibirnya membisu, sebab tak ada kalimat yang baik untuk menjawab pertanyaan itu.

Akio menggenggam tangan Regas, "Untuk malam ini, hanya untuk malam ini, biarkan aku sepenuhnya menjadi gadismu." Mata Akio menatap lekat pada iris hazel Regas. 

Regas tersenyum, "Ayo kita naik wahana itu bersama-sama." 

Malam semakin larut, orang-orang semakin banyak yang hadir. Akio meringis merasakan kakinya terluka sebab terkena serpihan ranting pohon. 

Regas membantunya untuk duduk di batu besar yang ada disana. "Kakimu terluka," ucap Regas saat melihat sayatan kecil di kaki Akio.

"Tidak masalah, hanya luka kecil." 

Regas dengan tegas menggeleng, "Ini harus diobati, aku kesana sebentar." Regas meninggalkan Akio sendirian, namun tak sampai lima menit pemuda itu kembali dengan pembalut luka, tisu dan air botol mineral.

Regas membasuh goresan itu dengan tisu yang sudah basah, lalu membalutnya dengan pembalut luka. Akio tersenyum melihat perhatian yang diberikan Regas padanya.

"Kenapa diobati, padahal hanya luka kecil." 

"Karena kamu gadisku malam ini, takkan aku biarkan ranting kecil menyakitimu." Akio tersipu mendengarnya, namun gadis itu tersenyum lebar. 

"Minggu nanti ulang tahunku," ujarnya saat Regas ikut duduk disampingnya. 

"Kamu ingin hadiah apa?" 

Akio menggeleng pelan, "Entahlah." 

"Aku hanya ingin dirimu," lanjutnya.

"Saya milikmu, sampai kapanpun." Akio menatap manik mata Regas, entah ucapan itu bualan semata atau sebuah kenyataan, hatinya sangat ingin sekali kata-kata itu menjadi nyata seutuhnya. 

"Boleh saya mencium mu, tuan tampan?" 


...


Hari berganti, simpang siur suara celotehan Heru terus menggema di telinga Regas. Berkata bahwa Tuan Mahes akan segera menikah, Regas tak peduli, sungguh, meski Tuan Mahes merupakan pemilik tempat dirinya bekerja saat ini. 

Tuan Mahes memang pemilik yang baik. Namun urusan pribadinya, Regas benar-benar tak ingin tahu-menahu. Itu sangat tidak baik untuk dibicarakan. 

"Kamu kapan, Gas?" Selalu pertanyaan itu yang akan ditanyakan Heru padanya. 

"Gak pengen kah kamu punya istri?" sambungnya lagi.

"Nanti kalo udah waktunya." Dan Regas akan selalu memberikan jawaban yang sama. 

Lastri berjalan menghampiri Regas dengan tergesa. Memberikan sebuah surat berwarna putih padanya. "Dari Nona," ucapnya kemudian pamit. 

Regas tak lekas membukannya, dia menunggu hingga waktu pulang kerjanya tiba. Regas membuka surat itu pelan. Membacanya dengan baik setiap bait yang tertulis indah disana.


Siang, Tuan Tampan.

Maaf atas kelancanganku malam itu. Tapi aku yakin, aku tidak akan melupakannya seumur hidupku. 

Kamu mungkin sudah mendengar berita itu sejak tadi. Maaf aku terlalu takut untuk bicara padamu tentang ini. Aku tidak bisa menolak keinginan ayah. Maafkan aku telah membawamu dalam sebuah kisah rumit dengan diriku. 

Tapi sungguh aku mencintaimu. 

Sekali lagi aku minta maaf kepadamu.

Harapku semoga di dunia berikutnya, kisah kita dapat bersama seperti keinginan kita. 


Salam hangat cinta dan kasih dariku,

AKIO FUJISOKA.


Air mata telah membasahi wajah Regas, dirinya tahu, maka dari itu dirinya lebih memilih diam. Dadanya yang sesak naik turun tak beraturan, isaknya terus keluar dari celah bibirnya. Hatinya lebur bersama sisa perasaan yang dibawanya sejak tadi. 

Mendengar bahwa kekasihnya akan menikah dengan orang terdekatnya. Hatinya mencelos, dirinya masih sangat berharap Akio akan bisa menjadi miliknya. 

Seutuhnya.

Namun kenyataan begitu pahit untuk diterima. 

Regas menuntaskan tangisannya, berlarut dalam tangis tak akan membuatnya membaik. Lebih baik ia berkeliling sambil mencari barang, sesuatu yang bisa ia berikan untuk Akio. Setidaknya untuk terakhir kali, sebelum gadis itu seutuhnya menjadi milik orang lain. 

Menjalankan motor hitamnya tanpa tentu arah, Regas sudah berkeliling lebih dari satu jam namun belum menemukan hadiah yang pas untuk gadis itu. 

Lampu lalulintas berubah merah, Regas menghentikan motornya. Matanya menatap kearah kiri jalanan, terdapat toko sepatu kecil. 

Regas menjalankan motornya kearah toko itu, memarkirkannya. Toko dengan banner bertuliskan "Toko masa depan" itu membuat Regas tertarik.

Tangan kanannya membuka pintu toko. Setelah masuk matanya langsung disambut dengan berbagai bentuk sepatu. 

Seorang pria tua menghampirinya, "Cari sepatu apa, Nak?" tanyanya. 

Regas menatap si pria tua, "Belum tau, Pak." Lalu matanya kembali mengabsen setiap sepatu yang tersusun diatas rak. Tatapannya terfokus pada sepatu teplek berwarna biru tua. 

"Anak tertarik?" tanya pria tua, mengambilkan sepasang sepatu itu untuk Regas. 

"Ini sepatu saya buat sebulan yang lalu, ada seorang gadis datang, dia bilang ingin dibuatkan sepatu namun dia tidak akan datang untuk mengambil, katanya akan ada seseorang yang datang dan mengambil ini untuknya. Mungkin tuan yang dimaksud gadis itu." 

Regas tak mengerti maksud yang dibicarakan oleh pak tua, "Bagaimana kalo bukan saya orangnya?" 

Pak tua berjalan menuju mejanya, membuka laci lalu mengambil sesuatu. Pak tua itu memberikan sebuah amplop kecil padanya. "Gadis itu memberikan saya ini, dia bilang, jika menemukan seseorang, berikan saja ini." 

Regas menerima amplop itu, lalu duduk dikotak duduk yang tersedia disana. Membuka amplop dengan pelan. Terdapat sebuah foto dan selembar kertas kecil. Dilihatnya baik-baik foto tadi, matanya memanas, itu fotonya bersama Akio. Matanya lalu membaca surat kecil yang ditangan kirinya. 


Hai, Regas. 

Aku tahu kamu akan menemukan ku. Tolong berikan ini padaku, aku memesannya untuk hari ulangtahun ku. Aku berniat untuk memakainya saat aku akan mengenalkan mu pada orangtuaku nanti. Aku tidak sabar untuk memakainya. 


Lagi, Regas menghapus air matanya dalam hening. Tak menyangka bahwa fakta ini akan sampai padanya disaat yang salah. 

Regas menyusun kembali surat dan foto kedalam amplop. Kemudian memeluk sepatu itu serat. "Saya akan mengambil ini, Pak." 


...


Matahari tidak bersinar cerah pagi ini, awan bergerumul menutupi mentari nya. Akio berjalan kecil menuju taman di halaman rumah. Duduk di bangku besi berwarna putih yang hampir berkarat. 

Akio kehilangan semangat. Hidupnya saat ini hanya berjalan bagaikan arus. Ralat, dirinya kini berperan sebagai boneka. Boneka atas cita-cita yang ingin orang tuanya capai. Dirinya sudah tidak peduli lagi akan masa depannya. Langkahnya sudah diputus secara paksa. Kini dirinya tak bisa apa-apa selain berserah. 

Lastri menghampirinya secara sembunyi-sembunyi, membuat Akio bertanya, "Ada apa, Tri? Kenapa terlihat sembunyi-sembunyi?" 

Lastri memberikan sebuah kotak pada Akio, "Ini dari tuan tampan." 

Jantungnya berdetak memburu, dirinya tak salah dengar. Segera dia menerima kotak itu lalu menyuruh Lastri pergi. Air matanya yang telah habis seperti terisi penuh, pipinya yang mengering kembali basah. Lukanya yang tergores kembali terasa sakit.


Hai, gadisku. 

Aku harap masih sempat memberikannya. Serta untuk panggilan itu juga. Aku harap sepasang sepatu ini akan menuntunmu kepada langkah yang baik di masa depan. 


Salam kasih, 

Regas, tuan tampan milikmu.


Tangannya hanya sanggup memeluk sepasang sepatu itu. Menggenggam nya dilengan dengan erat seraya menangisi segala hal yang telah dilakukannya. Menangisi takdir yang mempermainkan hidupnya. 

"Tuhan, kenapa kau permainkan hati ini?" tanyanya lirih.


...


Malam telah banyak terganti, hari ini Regas bersama keluarganya akan pergi ke rumah Pak Zambi. Rekan mendiang ayahnya. 

Malam ini, Regas berniat meminang putri Pak Zambi. Mengingat dahulu, sang ayah dan Pak Zambi pernah membuat janji untuk menikahkan anak mereka kelak. 

Disinilah Regas sekarang, duduk dengan tegang bersama pembicaraan yang tak bisa dielaknya. 

"Jadi bagaimana, Nduk?" tanya Pak Zambi pada anak gadisnya. 

Gadis itu mengangguk sambil menunduk malu. 

Sekarang resmilah jalan takdir untuknya. Menikah dengan Wulan, gadis yang dulu pernah menjadi teman masa kecilnya. 

Regas dan ibunya berjalan pelan menuju rumah. Langkah mereka terhenti saat melihat perempuan berkulit putih dengan gaun hijau panjang. 

"Ibu duluan aja," pinta Regas yang mendapat anggukan dari sang Ibu. 

Tepat setelah pintu rumah tertutup, Akio tersenyum, senang sekali bisa kembali menatap orang yang selalu mengisi hati dan isi kepalanya. 

"Aku." Gadis itu terbata.

"Aku kesini ingin minta maaf karena tidak pernah menunjukkan diri didepan mu."

"Tidak apa, Nona. Semua sudah masa lalu." 

Senang mendengar sebutan itu kembali ditelinganya. Namun kata 'masa lalu' begitu menyakitkan untuk di dengar.

"Iya, kamu benar."

Keadaan menjadi hening. 

"Aku kesini untuk berpamitan, aku akan pergi ke Jepang besok." 

Ada yang berdesir dihati Regas, "Liburan dengan Tuan Mahes?" 

Akio tersenyum kecut sambil menggeleng pelan, "Aku akan menuntun impianku disana. Juga," ada jeda beberapa detik, Akio menunduk lalu kembali menatap Regas, "Aku tidak pernah menikah dengan Tuan Mahes, pernikahan itu tidak pernah terjadi, aku wanita yang bebas." 

Regas merasa seperti dihantam batu besar, kenyataan apa lagi yang harus diketahuinya kini, "Tapi kenapa?"

"Kamu bilang sepatu ini akan menuntun ku pada hal baik di masa depan. Dan aku tidak merasa dia adalah masa depan untuk ku." Akio sedikit menaikkan rok gaunnya.

"Tapi," Regas tergagap.

Akio menaruh telunjuknya didepan bibir Regas, "Aku tahu, meskipun bukan masa depan ini yang mendukung kita, aku harap di kehidupan lain, kita benar-benar bisa bersama." 

"Terimakasih untuk semuanya, akan ku bawa kisah kita ke tanah kelahiran ku, ke dalam jiwaku, kenangan itu tak akan pernah mati atau hilang, aku janji, semua akan aku bawa bersamaku." Mata Akio mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga gadis itu menahan air mata jatuh dari pelupuknya.

Begitupun Regas, pemuda itu segera mendekap gadis itu dalam lengannya. Seakan tak ingin melepaskan. Matanya itu mengeluarkan tangis. Menangisi takdir yang hadir untuk keduanya. 

Seharusnya kejujuran itu ada sejak awal, seharusnya keberanian itu hadir lebih awal, maka takdir takkan begitu tega memisahkan dua insan yang saling mencinta.



FIN.


Gatau buat apaan, emg gak jelas.

Komentar